suka-suka

Senin, 10 Oktober 2011

Review - The Love of Siam

Miew: ” If we can love someone so much, how will we be able to handle it the one day when we are separated?
Semuanya bermula pada toilet sekolah, disaat Tong menyelamatkan Miew, tetangganya dari anak-anak lain yang menganggunya. Di saat itu juga Tong dan Miew kecil langsung menjadi sahabat baik yang tidak terpisahkan, dimana tanpa mereka sadari telah menghadirkan benih-benih cinta dalam jiwa polos keduanya, hingga pada suatu hari Tong dan keluarganya ketiban musibah yang membuatnya harus pindah dan meninggalkan Miew. Tapi beberapa tahun kemudian takdir kembali mempertemukan mereka kembali, cinta lama pun kemudian bersemi diantara mereka, sebuah cinta terlarang yang seharusnya tidak boleh hadir diantara mereka.
Terkadang dengan hanya bermodalkan sesuatu yang berbeda dan kontroversial saja masih tidak cukup untuk menjadikan sebuah film itu bagus, ambil contoh saja romansa remaja Thailand satu ini. Ok, sebelumnya saya harus angkat jempol kepada Chookiat Sakveerakul sebagai sutradara sekaligus penulis naskah yang sudah ‘nekat’ menghadirkan sebuah teen-flick romance tidak biasa dengan memasukan porsi besar tema homoseksual didalamanya sebagai hidangan utama karena pastinya kita tidak setiap hari menemukan film remaja yang di dominasi dengan percintaan dua anak SMU sesama jenis. Kemudian saya juga mengagumi ketika Sakveerakul membalutnya dengan visual sinematografi dan scoring cantik untuk mengambarkan momen-momen melodrama dramatis didalamnya, sungguh sebuah teknik berkelas, atau bagaimana saya memuji akting apik dari Witwisit Hiranyawongkul dalam membawakan karakter Miew dan keberanian Mario Maurer dalam debut aktingnya ini. tapi sayangnya hanya 3 faktor itu saja yang menjadi nilai plus disini karena saya sebenarnya tidak terlalu menyukai film ini, jauh dibawah ekpektasi saya sebelumnya, tidak peduli seberapa banyak orang yang begitu memujinya. Bagi saya The Love of Siam tidak lebih dari sebuah ‘sinetron’ indah dengan tema berani yang pada akhirnya tampil membosankan, kenapa? Mari kita bahas.
Faktor minus terbesar adalah ketika The Love of Siam bergerak terlalu bertele-tele dan  terasa lama, sesuatu yang tidak baik untuk sebuah drama yang berdurasi dua jam setengah benar-benar perjuangan yang melelahkan ketika menontonya. Sebenarnya saya sangat menikmati 20 menit pertama, sebuah openenig scene panjang yang juga menghadirkan prolog masa lalu kedua karakter utama kita. Semua berjalan lancar di bagian ini, pemicu romansa keduanya terbentuk dengan baik meskipun sedikit cheesy (adegan perkelahian di toilet sekolah), termasuk tragedi yang menimpa keluarga Tong yang kemudian membuat Miew dan Tong kecil harus berpisah dalam waktu yang lama. Nah, yang menjadi masalah ketika kemudian Sakveerakul sepertinya kebingungan untuk bagaiman mengembangkan kisahnya lebih lanjut, dan apa yang terjadi kemudian ia malah menambahkan sub plot lain yang parahnya kelewat ‘opera sabun’ alias terlalu ‘sinetron’ dan tidak penting, seperti memanjangkan tragedi keluarga Tong, membuat ayahnya menjadi alkoholik kemudian sakit parah, muncul karakter June, gadis yang mirip 100% dengan kakak perempuan Tong, cinta segi banyak dari tetangga yang tergila-gila pada Miew sampai Tong dan Donut kekasih ‘normal’ nya lengkap dengan segala melodrama picisannya. Pertanyaanya tentu saja apakah kehadiran sub-plot tersebut mampu memperkuat plot utamanya? Jika tidak kenapa tidak dibuang saja? Biarkan The Love of Siam memfokuskan dirinya pada tema romansa gay-nya, tanpa harus tercemari melodrama-melodrama tidak penting itu.
Ya, sayang sekali dimuali dengan pembukaan yang bagus rupanya tidak mampu diteruskan hingga akhir, Sakveerakul harusnya bisa berbuat jauh lebih banyak dan lebih berani dengan modal tema semenarik itu daripada sekedar membuatThe Love of Siam sebagai sebuah romansa bertele-tele yang bersembunyi dibalik ‘topeng’ homoseksualitas nya.  :)

http://movienthusiast.com/2011/07/review-the-love-of-siam-rak-haeng-sayam-2007/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar